Khadijah Ku

Ditengah teriknya matahari siang itu, aku melihat ketenangan dari wajahnya. Senyumnya yang merekah memperlihatkan barisan giginya yang rapi dan bersih. Ditambah balutan hijab longgarnya membuat dia semakin anggun. Aku hanya mampu memandangnya dari kejauhan, memperhatikannya seperti kucing yang mengendap-endap didapur melihat gorengan ikan yang menarik hatinya.

Lisa…. Itulah nama aktivis dakwah kampus itu. Siapa yang tak mengenal sosok nan sholihah serta cerdas seperti dia. Sudah pasti banyak lelaki yang tertarik hatinya pada Lisa. Dia bagai sosok bidadari dunia. sempurna bagi diriku yang hanya orang awam biasa. Mengaji pun jarang sekali, baru belakangan ini aku aktif mengikuti kajian LDK (Red : lembaga dakwah kampus) sebab aku ingin melihat Lisa.

Lisa adalah teman SMP ku saat di Bandung. Dulu kami sering sekali bermain bersama. Aku sudah mengaguminya sejak dia pindah ke sekolah ku, menjadi murid baru di kelas 2. Sejak dulu hingga kini dia tak pernah berubah, selalu ramah, mandiri dan baik hati. Bedanya, kini dia bukan lagi gadis yang tomboy tetapi sudah menjadi gadis  yang sangat anggun. Aku tak pernah meyangka bisa kembali bertemu dengannya, kebetulan kami sekarang satu jurusan di Kampus yang sama.

***
“Ana denger kemarin antum abis ngasih CV ta’aruf yah ke bunda novi. Bagaimana kelanjutannya? Ukh Lisa udah setuju sama antum?” ucap Dendy, teman satu kajianku pada Ahmad.

Hatiku gelisah mendengarnya, Ahmad adalah lelaki yang sudah tidak diragukan lagi kesholihanya. Dia sangat istiqomah dalam dakwah. Beberapa kali pernah diundang dalam kajian dan seminar tentang ke-ldk-an, bahkan dia menjadi delegasi lndonesia untuk Palestina dan Suriah. Sudah pasti banyak akhwat (Red : Muslimah yang berhijab syar’i) yang berharap dipinang olehnya. Dibandingkan Ahmad, aku bukan apa-apa.

“Akhi, bagaimana kajiannya tadi? Minggu depan antum datang lagi yah.” Tetiba Ahmad bertanya padaku dan hanya menjawab pertanyaan Dendy dengan senyum.
“Seru, Akh. InsyaAllah, kalau tidak ada halangan nanti ana dateng lagi.” Jawabku. Kini aku mulai terbiasa mendengar istilah “Akhi” ; “Antum” ; “Ana/Ane” ; dan masih banyak lagi istilah yang dulu aku anggap aneh. Bahkan sering tak sengaja aku ucapkan pada teman lainnya diluar LDK.
“Oh ya, ana buru-buru mau ada syuro di luar. Ana duluan ya, akhi. Assalamu’alaikum…” lanjutnya, sembari berjalan meninggalkan aku dan Dendy diserambi Masjid.
“Oh, iya. Wa’alaikumsalam…” Ucap kami hampir bersamaan.

***

Aku berdiri pamit pada Dendy untuk pergi duluan. Berjalan meninggalkan serambi Masjid menuju ke kelas. Setengah jam lagi kelas akan dimulai. Sepanjang jalan ucapan Dendy tadi terus mengiang ditelinga ku. Sesak sekali rasanya dada ini kalau harus membayangannya.

“Assalmu’alaikum…”
Suara itu seperti tak asing. Tapi tak ada siapa-siapa di hadapanku, bahkan di kanan dan kiri ku. Hanya ada aku. Tetiba saja sosok itu datang mengejutkan dari samping kanan.
“Assalamu’alaikum….. Akhi Fatah. Dari tadi salam ngga dijawab. Aku pikir telinga mu lagi disumpel pake earphone” gerutunya padaku
“ehm… Wa…Wa’alaikumsalam…. Maaf tadi aku pikir yang manggil siapa.” Kataku pada sosok itu.
“Gimana tugas yang kemarin, udah selesai belum. Maaf yah ana cuma bisa ngerjain sebagian dan habis itu ngga pernah tanya-tanya lagi. Jadwal lagi padet banget. Harus kesana kemari, ditambah harus nyiapin beberapa materi kajian.” Katanya lagi sambil tersenyum manis kedepan. Dari sisinya aku mampu melihat pancaran ketenangan itu. Meski berjuta alasan ia tuturkan. Lelah, letih, tetap saja tak  pernah terlihat diwajahnya. Meski kami berjalan beriringan tapi jarak kami cukup jauh. Dia tak pernah sengaja berjalan dekat tepat disamping ku. Selalu berjalan di depan, di belakang atau satu meter disamping ku. Dialah Lisa, gadis yang sudah membuat hatiku gelisah. Sebab tertambat padanya.

---Siti Sukaesih---
Hari Pertama
Jannatul Kost
15.6.16
#TantanganHujanKarya1437H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk ayah dan ibu tercinta (Renungan)

Aku Takut Jatuh Cinta Lagi

Hati Itu Milik-Nya