Jangan Hukum Aku Karena Masa Lalu ku

Aku masih menangis didalam kamarku sejak tadi siang. Enggan untuk keluar kamar sama sekali. Hatiku masih hancur. Penolakan demi penolakan yang aku terima membuatku semakin rapuh. Meski khilaf itu sudah berlalu bertahun-tahun silam. Tetapi tetap saja tak mampu mengubah yang hitam kembali menjadi putih. Entah apa pasalnya mereka selalu menghindariku setelah mereka datang dengan mantap menghadap kedua orangtuaku. Tetapi saat ku ceritakan masa lalu ku, mereka pergi. Apakah aku harus membayar semua khilaf itu dengan rasa sakit hati yang terus menerus. Aku masih belum mengerti mengapa Allah tak adil pada diriku. Padahal aku sudah bertaubat pada-Nya untuk tak melakukan khilaf itu lagi. Hatiku menjerit mempertanyakan tentang keadilan-Nya.

Tok tok…
Suara pintu kamarku berbunyi. Pasti itu ibu. Aku tahu dia amat khawatir tentang keadaanku tapi aku lebih mengkhawatirkan keadaannya. Ibu yang saat ini harus berjuang sendiri menahan beban berat ini setelah setahun lalu ayah meninggal akibat serangan jantung karena penolakan terhadap diriku dari orang yang amat iya percayai. Aku menyesal dan selalu merasa bersalah padanya. Sebab semua terjadi tanpa sepengetahuannya. Aku balas susah payahnya mendidikku dengan goresan luka yang amat dalam diakhir kehidupannya.

“Wi… kamu belum makan loh dari tadi siang. Sudah malam gini apa ngga lapar? Ini ibu bawakan sayur sop kesukaanmu sama ayam goreng. Tolong buka pintunya yah nak.” Kata ibu dengan suara lirihnya. Aku beranjak dari tempat tidurku untuk membukakan pintu. Sesaat setelah pintu terbuka, aku melihat senyuman tulus penuh cinta dan sabar dari satu-satunya orang yang tersisa yang selalu mengorbankan hidupnya untuk hidupku.

“Nih, kamu makan dulu yah.” Sambil menyodorkan nampan berisi makanan dan minuman dengan tersenyum, ibu langsung meninggalkanku. Aku tahu ibu tak pernah mau mengungkit masalah apapun denganku. Sebab luka itu sudah terlalu besar. Tetapi dihadapanku dia selalu kuat menahannya. Mengganti sedihnya dengan selalu memberikan senyuman terbaiknya untukku. Dia sama sekali tak pernah memarahiku meski kesalahan yang kulakukan telah menggores nama baiknya. Saat ayah memakiku sebab kesalnya, ibu malah menenangkan dan memintaku untuk pergi meninggalkan perdebatan dengan ayah.

***
Lima tahun lalu, ketika aku lulus dari SMA. Ibu dan ayah memintaku untuk melanjutkan studi keluar kota, disalah satu perguruan tinggi negeri. Aku sebenarnya enggan melanjutkan studi sebab aku tak pernah bercita-cita ingin sekolah tinggi. Ditambah lagi jika harus ke luar kota, berarti harus banyak yang aku tinggalkan selain keluargaku yaitu kekasihku. Tetapi ibu terus membujukku dan kekasihku, Doni. pun tak melarangnya. Ia berjanji akan selalu datang untuk mengunjungiku.

Setahun berselang, akibat pergaulan hidup dikota yang serba gemerlap dan teman-teman yang serba glamor. Aku terpengaruh. Aku sering ikut mereka pergi ke club, setiap bulan selalu travelling ke luar kota. Tentunya temanku saat itu bukan hanya perempuan tapi banyak juga lelakinya. Hidupku amat bebas. Tetapi aku masih bisa menjaga diri untuk tak melakukan hal negatif yang teman-temanku lakukan.

Doni masih sering mengunjungiku selama ini, meski dia tidak terlalu suka dengan caraku bergaul. Hingga akhirnya kesabaran Doni diuji oleh seorang teman lelakiku yang datang menghampiri kami yang saat itu sedang makan dikantin kampus. Dia  menghampiriku untuk menyapa, tetapi caranya menyapaku membuat Doni marah. Temanku memelukku dan juga mencium pipi kanan dan kiriku. Bagi teman-temanku memang itu hal yang biasa, tapi tidak bagi Doni. Dia terlalu menjaga adab dan norma yang dia yakini benar. Bahkan selama kami pacaran, dia tak berani memegang tanganku, meski kami sudah pacaran lebih dari satu tahun.

Pertengkaran itu tak mampu terhindarkan, Doni sangat marah dan dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.

“Aku engga suka calon istriku dipegang-pegang sama orang lain.”
Itulah kata-kata terakhir yang aku dengar. Hatiku pilu mendengarnya. Saat itu juga aku menelpon ke rumah dan ibu yang mengangkatnya. Aku tanyakan hal apa saja yang sudah Doni bicarakan pada ibu dan ayahku. Dan ibu bercerita bahwa kemarin sebelum Doni berangkat untuk bertemu denganku, dia mampir ke rumah  untuk bertemu ayah. Doni menyampaikan niatnya untuk menikah denganku, sebab menurutnya kami sudah terlalu lama berhubungan dan sudah cukup untuk melangkah lebih serius. Hari dimana Doni seharusnya melamarku, tetapi sebab perlakuan temanku itu dia mengurungkan niatnya bahkan memilih mengakhiri semua hubungan yang telah lama kami jalani.

Aku berusaha menghubungi Doni hingga satu minggu kedepan, tapi tak pernah ada respon apapun. Dia selalu menghindar. Dia tak pernah lagi muncul, hingga akhirnya kedua orangtua memberikan kabar setelah tiga bulan kejadian itu bahwa Doni sudah menikah dengan anak teman Bapaknya. Ayah ku mempertanyakan hal itu padaku. Kedua orangtuaku memang tak pernah tahu bahwa sebenarnya aku dan Doni sudah tidak berhubungan lagi. Selama ini aku selalu menghindari pertanyaan mereka tentang ‘kemana Doni’. Ayahku kecewa dan tak pernah menghubungiku. Selama ini hanya ibu yang rajin menanyakan kabarku.

Pergaulanku semakin tidak terkontrol. Sampai tiba disuatu hari, aku dicekoki minuman beralkohol oleh teman-temanku hingga tak sadarkan diri. Ketika terbangun, aku sadar bahwa aku sudah tidur dengan seorang lelaki. Aku marah dan hanya mampu menangis dengan penuh penyesalan. Teman-temanku yang lain menenangkanku dan berkata bahwa ini hal biasa sebab lelaki itu mencintaiku. Aku terus menangis dan berpikir bagaimana mungkin dia mencintaiku tapi membuat noda terhadap diriku.

Sejak hari itu aku tak pernah datang menemui mereka lagi meski mereka selalu menghubungiku bahkan sampai datang ke tempat kostku. Hatiku masih pilu karena terluka oleh kejadian hari itu. Aku terus berpikir bagaimana aku bisa menjelaskan hal ini pada kedua orangtuaku. Aku sangat takut mereka terluka. Sebab, mereka selalu bekerja keras menanamkan segala nilai kebaikan untuk hidupku tetapi kali ini aku merusak semua jerih payah mereka. Air mataku tak sanggup berhenti,

Saat aku pulang untuk liburan kuliah, aku tak mampu menatap wajah kedua orangtuaku. Terutama ayah. Aku hanya berdiam diri seharian dikamar. Sesekali keluar hanya untuk makan, ke toilet dan sholat.

Disujud panjangku setiap sholat, aku tak mampu menahan derai air mata penuh penyesalan. Sampai akhirnya ibuku datang kedalam kamar menanyakan keadaanku yang menurutnya telah berubah.

“Kamu kenapa? Seharian terus dikamar. Apa kamu marah sama ayahmu gara-gara enggak pernah nelpon kamu lagi? Wi… ayahmu sayang sekali sama Dewi. Ayah Cuma berharap kamu bisa hidup jadi anak yang baik buat ayah. Selain itu, ayah juga berharap kamu bisa menikah sama Doni. Tapi… yah mau diapain lagi. Jodoh… maut.. rezeki…itukan sudah Allah yang atur. Mau dipaksa gimana juga enggak akan selalu sesuai dengan maunya kita.” Kata Ibu sambil memegang tanganku “Kamu mau maafin ayah kan?” Lanjutnya lagi

Aku hanya diam membisu. Disaat itu air mataku jatuh tak terbendung lagi, rasanya seperti ada yang menyayat-nyayat hatiku. Bagaimana bisa aku melukai hati mereka dengan kejujuran yang pahit.

“Kamu kenapa? Sudah… sudah… kamukan sudah besar masa nangis gini. Ayah Cuma malu minta maaf sama kamu.” Kata Ibu menenangkanku

Demi melihat perjuangan besar mereka dan kasih sayangnya, aku beranikan diri menceritakan setiap jengkal cerita itu dari awal hingga akhir. Tentang teman-temanku, tentang pergaulanku, tentang hubungkan dengan Doni dan tentang kejadian malam itu. Aku ceritakan sejelas-jelasnya tanpa mengurangi sedikit pun. Aku menangis penuh penyesalan dan tak mampu menatap wajah ibuku. Ibu memelukku dengan sangat erat. Entah luka macam apa yang kini ada dihatinya setelah mendengar cerita dariku. Tapi aku tahu dibalik pelukan itu ibu menahan tangisnya.

“Sudah sore. Kamu sekarang mandi yah. Nanti kita makan malam sama-sama. Ibu kebelakang dulu takut ayahmu udah pulang. Ibu selalu ada buat kamu, nak.” Kata Ibu sambil berlalu meninggalkan ku dikamar dan yang tersisa hanya bayang senyuman tulusnya.

***

Setahun sudah kejadian itu berlalu. Tak banyak yang berubah dari keluargaku. Ibu tetap bersikap biasa, begitupun dengan ayah. Sepertinya ibu tidak pernah menceritakan hal itu pada ayah. Aku pun tak pernah mengungkit kejadian itu lagi dihadapan siapapun. Di kampus, aku mulai sibuk mengikuti unit kegiatan mahasiswa rohani islam (ROHIS). Seorang teman satu jurusanku merekomendesikan aku untuk mulai aktif pada kegiatan kampus dan mencari berbagai pengalaman lain diluar jam kuliah. Dia sering mengajakku mengikuti kajian didalam ataupun luar kampus. Meski saat itu aku masih belum berjilbab dia tidak pernah memaksaku. Aku yang justru bertanya kepadanya bagaimana jika aku tidak mau berjilbab. Tapi dengan keramahan dan kelembutan tutur katanya dia hanya berkata singkat Allah yang akan minta kamu berhijab. Bukan aku, wi. Sampai saat ini kata-kata itu masih melekat erat dalam ingatanku. Sampai disuatu hari aku mulai mencoba menggunakan jilbab yang biasa digunakan temanku yang lain. Memang tidak setebal dan sepanjang milik temanku di rohis. Dan akupun masih suka menggunakan celana jeans.

Aku mulai nyaman dengan jilbab yang kugunakan dan entah kapan dimulainya perasaan itu aku ingin sekali menggunakan hijab yang digunakan Ratna, temanku di rohis. Saat itu aku kebetulan diundangnya ke kostnya untuk mengambil beberapa buku yang akan disumbangkan ke panti asuhan. Disana ada hijab biru bergantung dan aku meminta ijin Ratna untuk coba menggunakannya.

“MasyaAllah wi, kamu cantik sekali pakai itu.” Kata Ratna memujiku

“Aduh jangan gitu dong. Kan aku malu.” Kataku. Kemudian aku bercermin dan aku merasa pakaian ini sangat cocok dan nyaman kugunakan. Tapi saat itu aku berpikir tidak mungkin memakainya sebab aku tidak punya koleksi baju seperti itu dan uang bulanan yang dikirimkan orangtuaku tak mungkin aku hamburkan untuk membeli pakaian itu. Aku melepas pakaian itu dan menggantungkannya kembali. Kami bergegas keluar dari kamar, sebab sudah sejak tadi ditelpon oleh yang lain.

“Wi, kamu tunggu disini sebentar yah.” Kata Ratna sesaat setelah kami berjalan menuju tangga kostnya

“Oh, iya.” Kata ku.

Aku menunggunya beberapa saat. Ratna kembali sambil membawa bungkusan di goodybag ungu dan menyerahkan padaku.

“Apa ini?” Kataku dengan ekspresi wajah kebingungan

“Ini buat kamu. Aku suka liat kamu pakai ini. Ini baru kok. Kemarin baru dikirim umi dari Padang.” Katanya

“Tapi….”

“Udah. Terima yah. Umi juga pasti seneng kalau tahu kamu pake ini. Yuk, yang lain udah nungguin lama kayanya.”

 Kami berjalan meninggalkan kost Ratna. Hatiku masih tak percaya dengan apa yang aku lihat. Sejak hari itu, aku mulai menutup seluruh auratku. Semua pakaianku yang dulu aku sumbangkan. Bahkan ada yang sengaja aku modifikasi dengan pakian lain agar tertutup.

Orangtuaku yang mendengar kabar baik ini begitu bahagia. Bahkan ayah setiap bulan selalu mengirimkan uang lebih. Katanya untuk membeli pakaian baru. Aku sangat bahagia sebab telah menutup lembaran hitam itu dan memulainya kembali dengan yang baru.

Tetapi, setiap kebaikan tak akan pernah luput dari kejahatan. Ada beberapa teman yang tidak suka dengan perubahanku. Mereka selalu mencibirku dan mengungkit semua kejelekanku dimasa lalu. Hal itu cukup membuatku sedih. Perubahanku dianggapnya sebagai kamuflase dari setiap kekhilafanku. Syukurnya, aku memiliki banyak sahabat yang setia mendukung perubahanku dan menguatkan aku.

Hingga aku lulus dari perguruan tinggi perubahan itu semakin menuju kearah kebaikan.

***
Tak berselang lama setelah kelulusanku, ada seorang lelaki yang datang mendekatiku. Dia adalah teman satu kampusku dulu. Kami ada disatu fakultas yang sama tetapi aku memang tidak terlalu dekat dengan temannya. Dia berkata tertarik padaku sejak aku menggunakan hijab tetapi saat itu belum berani untuk mendekat. Dia sering menghubungiku lewat sosial media. Menanyakan kabar atau sekedar basa-basi. Sampai disuatu waktu dia memintaku untuk menikah dengannya. Saat itu aku masih ragu sebab aku masih baru bekerja satu bulan diperusahaan tempatku bekerja. Ditambah ijin dari kedua orangtuaku. Aku mengkonsultasikan hal ini pada Ratna. Meski kami sudah tidak bertemu tetapi dia masih sering menghubungiku. Ratna sekarang tinggal dikampung halamannya dan baru saja menikah. Ratna menyarankanku untuk bicara terlebih dahulu pada kedua orangtua dan setelah itu jika memang lelaki itu serius maka aku harus memintanya datang menghadap ke ayahku. Aku laksanakan semua yang Ratna sarankan. Dan lelaki itu pun bersedia. Dia dan keluarga datang ke rumahku untuk bertemu ayah dan ibu. Kami memutuskan hari lamaran resminya dan tanggal pernikahan. Tetapi entah hal apa yang sudah terjadi. Sampai hari yang dijanjikan mereka tak pernah datang. Aku terus menghubunginya untuk menanyakan masalah apa yang terjadi. Tetapi dia terus menghindar. Dia hanya berkata bahwa tidak dapat melanjutkan rencana pernikahan kami.

Ayahku yang mendengar penjelasan yang tidak masuk akal itu memutuskan untuk datang ke rumah lelaki itu diantar oleh seorang tukang ojek. Ayah pergi tanpa sepengetahuanku. Dan ibupun tidak berani mengatakan hal apapun padaku.

Ayah baru tiba ketika adzan maghrib telah selesai dikumandangkan. Dia langsung masuk kekamar mengambil perlengkapan sholatnya dan baru kembali ketika malam sudah larut. Aku dan ibu yang melihat keadaan itu semakin bertanya-tanya tentang hal apa yang terjadi disana.

Keesokan harinya ketika kami sedang sarapan, tiba-tiba ayah bertanya padaku.

“Wi… Adakah hal yang ayah tidak tahu dalam hidup Dewi selama?” Kata ayah

“Maksudnya, yah?” Tanyaku dengan sedikit kebingungan karena tidak mengerti maksud pembicarannya.

“Apa berita yang ayah dengar dari ibunya Anto itu benar? Ayah tidak akan menanyakan hal apapun padamu, Wi. Ayah hanya ingin kejujuran dari anak ayah.” Kata ayah lagi sambil berdiri dan berjalan meninggal meja makan.

Aku hanya terdiam mendengar kata-kata ayah. Air mataku tak dapat ku tahan lagi. Ibu yang duduk dihadapanku hanya diam memperhatikan. Aku segera menelpon Anto dan menanyakan perihal kejadian apa yang membuat ayahku murung dan sedih. Anto menjelaskan dengan panjang lebar setiap kejadian yang terjadi. Katanya, ketika ayahku datang kerumah anto. Ibunya langsung melabrak ayahku. Menjelaskan bahwa dia tidak akan pernah menikahkan anaknya dan tidak mau bemenantukan seorang gadis yang sudah ternoda sepertiku. Meski anto mau saja menerimaku, tetapi keputusan keluarganya tidak dapat dia ganggu gugat. Aku yang mendengar cerita Anto langsung mengerti apa maksud perkataan ayah tadi.

Ayah tidak keluar kamar hingga waktu dzuhur tiba dan kemudian pergi ke masjid untuk sholat berjamaah. Saat ayah kembali dari masjid aku langsung menghampirinya. Berlutut dikakinya dan meminta maaf atas semua kesalahanku. Aku menangis sejadi-jadinya dan sangat berharap ayah akan memaafkan aku. Ibu menenangkan aku, tetapi ayah hanya diam saja.

Tiga bulan sudah kejadian itu berlalu, ayah masih enggan bicara banyak padaku. Hanya seperlunya. Dia menyibukkan diri dengan membuat anyaman bambu, merawat kebun atau tinggal berlama-lama di masjid untuk mengaji. Ayah terus beraktifitas siang malam tanpa berhenti. Waktu tidurnya berkurang. Sampai akhirnya ayah jatuh sakit. Dokter mendiagnosa ayah kelelahan dan stress. Selain itu ayah ternyata memiliki riwayat sakit jantung. Sekarang ayah hanya diam dikamar sambil mengaji atau tidur. Dia butuh istirahat total. Aku tidak tega melihat keadaannya yang semakin memburuk. Aku meminta untuk tidak memikirkan hal apapun, tetapi ayah malah berkata yang membuatku putus asa.

“Lelaki mana yang mau menerima anak gadis yang sudah tidak gadis lagi. Perempuan yang pernah tidur dengan lelaki lain.” Kata ayah.

Aku putus asa.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk ayah dan ibu tercinta (Renungan)

Aku Takut Jatuh Cinta Lagi

Hati Itu Milik-Nya