Benarkah Aku Siap?

Hari ini aku hanya ingin berbagi, bercerita, dan bertanya pada diriku sendiri. Dan mungkin dari sedikit yang kubagikan ini ada diantara kalian yang merasakannya.

Kawan… sungguh indah bukan ketika kita bermimpi? Sebab mimpi membuatmu bebas melakukan apapun. Namun apa jadinya saat mimpi itu benar-benar ingin kau jadikan nyata. Bukan hanya sekedar berhenti pada sebuah mimpi. Pasti sebagai manusia sangat wajar kita akan berusaha mewujudkannya.

Menikah… bersanding dengan seseorang dalam sebuah mahligai nan indah itu adalah mimpi dan harapan setiap manusia. Tapi, benarkah kita sudah siap untuk diberikan amanah itu? Benarkah kita sudah mampu melewati setiap ujian yang akan kita temui nanti?

Kawan…. Percayalah Allah sudah memberikan masing-masing pasangan hidup yang akan menemani kita. Syukur alhamdulillah ketika kita mampu berjumpa dengannya di dunia ini. dan harus tetap bersyukur tak kala kita harus menemuinya diakhirat kelak. Tak penting seperti apa sosok yang akan menjadi separuh deen kita nanti sebab seberapapun kerasnya usaha yang kita lakukan, Allah tak akan pernah membocorkannya sedikitpun. Percuma berlelah-lelah menerka siapa, sebab akhirnya hanya waktu yang mampu  menjawabnya. Bisa jadi dia yang tak kau sangka atau boleh jadi dia yang selama ini kau harapkan.

Kawan… Untuk menikah tak berhenti dikata ‘Aku mau’ tapi juga harus siap dari segi lahiriyah dan batiniyah. Harus punya bekal fisik dan ilmu yang baik. Sebab menikah sejatinya hanya awal dari sebuah fase hidup yang baru. Tidak bisa dikerjakan secara tergesa.

Dari beberapa guru yang aku temui, mereka selalu berkata dan mengingatkan sejatinya menikah itu isinya bukan hanya kebahagiaan dan bersenang-senang bahkan lebih banyak masalah. Namun ketika kita memiliki bekal yang baik secara mental dan ilmu maka rumitnya masalah bagi orang lain, bisa jadi itu indah untuk kita. sebab kita punya ilmunya. Punya sabar dan tawakal, bukan emosi dan egoism.

Aku harus berpikir seribu kali untuk memutuskan bahwa ‘Aku siap’. Namun nyatanya seribu kali itu pun tak cukup, harus lebih banyak lagi waktu yang aku habiskan untuk berkata ‘aku siap’. Sebab memang jalan kesana perlu bekal yang banyak. Ibaratnya seperti kita akan melakukan perjalanan jauh. tak mungkin hanya membawa bekal sekotak nasi dan sekotak lauk pauk. Pasti kita butuh lebih banyak. Begitulah perjalanan pernikahan yang harus dijalani, bukan untuk satu atau dua minggu tapi bisa lima puluh tahun. Belum lagi ketika diawal pernikahan itu Allah berkehendak memberi kita rezeki lebih dengan menitipkan seorang bayi mungil. Siapkah kita menerimanya?

Siapkah untuk rela terbangun ditengah malam sebab si kecil menangis? Entah karena mengompol atau lapar.
Siapkah waktu luang bermain dengan teman-teman hilang dan terganti dengan kesibukan mengurus rumah. Bertemu kain pel setiap hari. bertemu tumpukan cucian yang semakin banyak. Bertemu rumah yang selalu kotor. Siapkah diri untuk itu?
Siapkah?

Benar memang menjadi seorang istri bukan berarti menjadi pembantu, tapi bukankah lebih indah ketika kita mampu mengabdi dan meraup pahala lewat jalan-jalan kecil ini.
Relakah setiap hari keluarga kecilmu harus menikmati lezatnya makanan asisten rumah tanggamu?
Relakah setiap pakaian yang dikenakannya hasil tataan orang lain?
Benar memang tak ada ulama yang memasukkan kriteria pandai memasak, rajin bersihkan rumah, sebagai syarat seorang istri yang bisa merasakan nikmatnya syurga. Namun, tak ada salahnya seorang wanita mampu melakukan itu. Setidaknya sekali saja kau lakukan meski kau mampu menyewa banyak asisten rumah tangga untuk melakukan segalanya.

Alasan dan landasan menikah tidak cukup dikata ‘mau’, dia harus berisi visi serta misi. Mau dibawa kemana arahnya nanti. Rumah tangga macam apa yang kau mau. Jalan apa yang hendak kau tempuh untuk meraihnya.

Rumah tangga syurga maka kau harus jemputnya dengan jalan-jalan syurga. Tak melanggar syariat yang sudah ditentukan-Nya.

Teruslah menambah ilmu agama, memperbaiki diri, meluruskan niat, dan tawakal dalam tiap ikhtiar pada-Nya. Jangan terlalu memaksakan diri berkata ‘siap’ sedang diri belum mampu memikul amanah-Nya. Adahal yang jauh lebih pasti ketimbang memikirkan setengah deen-mu, yaitu kematian. Kematian akan selalu datang tepat waktu dan setiap yang bernyawa pasti merasakan mati. Sedang separuh deen-mu belum tentu mampu kau temukan ketika nafas masih ada, bisa jadi dia tersimpan di syurga sebagai hadiah terindah dari-Nya.

#MuhasabahDiri
Jakarta, September 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk ayah dan ibu tercinta (Renungan)

Aku Takut Jatuh Cinta Lagi

Hati Itu Milik-Nya