Jangan Hukum Aku Karena Masa Lalu ku #2

Banyak lelaki yang datang kerumahku dan beniat untuk menikahiku. Tetapi baru saja bertemu dengan ayah dan ditanya maksud dan tujuannya. Ayah langsung menolaknya dengan berkata Kamu serius mau menikahi anak bapak? Apa setelah kamu tahu masa lalunya kamu akan kabur? Jika memang kamu belum siap menerima kenyataan yang akan bapak sampaikan, lebih baik kamu pikirkan lagi. Setelah mantap silahkan balik lagi.

Setelah mendengarkan perkataan ayah itu mereka tak pernah kembali ke rumah bahkan tak jarang ada yang menjauhiku. Aku semakin terpuruk dengan segala macam hal yang terjadi dalam hidupku ini.  Hingga pada suatu hari seorang anak teman ayah ketika sekolah dulu datang kerumah. Dia bermaksud menikahiku tetapi ayah masih tetap dengan perkataannya tetapi lelaki itu tidak menyerah. Dia terus kembali kerumah dan berjanji akan menerima apapun kekuranganku. Ayah menerimanya dan rencana pernikahan kami pun akan segera dilaksanakan dalam waktu dua bulan.

Semua persiapan sudah selesai. Waktu yang kami nantikanpun tiba. Aku merasa sangat gugup seakan semua ini hanya mimpi belaka. Ayah dan ibu pun terlihat amat bahagia. Semua tetangga datang kerumah  membantu persiapan pernikahanku esok hari. Aku paksakan mata untuk terpejam tetapi usahaku sia-sia. Sebab gugup aku tidak bisa tidur dengan tenang sampai ke esokan paginya.

Suasana semakin ramai. Semua sibuk menyiapkan acara penyambutan besan. Aku didandani oleh beberapa ibu tentang sebelah rumah yang memang sudah menjadi langganan bagian make up ketika ada acara pernikahan di kampung kami.

Tepat pukul sepuluh pagi keluarga besar mempelai pria datang dan disambut meriah. Aku diminta ayah untuk menunggu di kamar sampai proses ijab Kabul selesai. Entah apa yang terjadi diluar sana. Aku hanya tak mampu mengendalikan hatiku yang terus berdebar kencang. Ibu yang sejak tadi menemaniku malah menggodaku. Katanya, Duh, sebentar lagi anak ibu ngga bisa manja-manja lagi karena sudah punya suami. Aku hanya membalasnya dengan ekspresi wajahku yang kesal tapi malu-malu berkata iya.

Tiba-tiba terdengar suara ribut dari luar kamarku. Aku hendak berlari menengok tetapi ibu melarangku dan memintaku hanya menunggu dikamar sesuai perintah ayah. Ibu meninggalku sendiri didalam kamar. Aku yang tak sabaran menerima kabar itu akhirnya keluar dari kamar dan melihat ke ruang tengah rumahku. Semua orang berdiri dari duduknya. Ada sebagian orang yang memegangi tubuh ayahku dan sebagian ibu-ibu memegangi seorang perempuan yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Dia sedang hamil besar. Aku yang tidak mengerti dengan keadaan ini bertanya pada mereka.

“Ada apa ini?” Kataku

“Pernikanamu dibatalkan. Ayah tidak ridho anak ayah harus dinikahi lelaki pengecut seperti dia” Kata ayahku menjelaskan. Aku yang mendengar hal itu semakin bingung. Dan dalam kebingungan itu, wanita yang aku tidak tahu siapa dia sebab baru pertama kali melihatnya langsung berbicara panjang lebar. Menjelaskan siapa dia, asalnya dan hal apa yang membuatnya datang kerumahku. Dari penuturannya aku mendapat berita yang membuat hatiku hancur. Dia ternyata adalah kekasih lelaki yang sekarang berdiri dihadapanku yang seharusnya menjadi suamiku. Wanita itu sedang mengandung buah cinta mereka. Katanya lagi, selama enam bulan dia mencari keberadaan lelaki itu. Sampai tiba kabar dari temannya, bahwa lelaki itu akan menikah dengan seorang wanita dikampung halamannya. Maka dari itu dia datang untuk menuntut tanggung jawab lelaki itu.

Aku yang tak kuasa mendengar kenyataan pahit ini langsung jatuh pingsan. Aku tak mampu mengingat apapun setelah itu. Aku baru sadarkan diri dua hari kemudian. Setelah sadar aku tak melihat siapapun dirumah. Aku menanyakan keberadaan ibu kepada tetangga sebelah rumah.

“Bu maaf ganggu waktunya. Ibu liat orangtua saya kemana? Dirumah sepi ngga ada orang.” Kataku

“Mungkin ibumu lagi kerumah sakit.” Kata ibu itu

“Loh. Siapa yang sakit bu?”

“Ayahmu, Wi.”

“Ayah?”

“Iya. Waktu acara nikahanmu itu kamu kan pingsan. Setelah liat kamu pingsan penyakit ayahmu malah kambuh dan harus dibawa kerumah sakit. Sampe hari ini belum pulang karna masih koma.” Jelas ibu itu padaku

“Astaghfirullahal’adzim…” Kataku terkejut. Dadaku sesak, air mataku menetas seketika. Aku bergegas pergi kedalam rumah untuk berganti pakaian dan setelah itu meminta alamat rumah sakit tempat ayah dirawat pada ibu itu.

Selama perjalanan ke rumah sakit aku tak henti-hentinya menangis sampai seorang lelaki yang menumpangi angkot yang sama denganku menanyaiku. Aku hanya menggelang dan berkata bahwa ayahku sedang koma di rumah sakit dan aku baru tahu kabarnya. Dia pun merasa perihatin dengan keadaanku. Dan malah menanyaiku hal-hal lain.

“Memangnya dirumah sakit mana mba?” Kata lelaki itu. Tangisku terhenti dan merasa sedikit kesal ditanya-tanya oleh orang tidak aku kenal.

“Dirumah sakit daerah, mas.”

“Wah, kebetulan mba kita satu tujuan. Saya juga mau kerumah sakit daerah jenguk abah saya. Tapi saya ngga tahu tempatnya karena ini baru pertama kalinya saja datang kesini.”

Aku hanya terdiam keheranan mendengar penjelasan lelaki itu. “Kalau begitu boleh kah saya ikut bareng dengan mba?” Katanya lagi

“Hmm… iya boleh.” Kataku dengan sedikit ragu.

Lima belas menit kemudian kami sampai didepan rumah sakit. Aku langsung masuk kedalam diikuti lelaki itu. Kami menuju resepsionis untuk menanyakan ruangan. Tetapi karena lelaki ini berkata dia baru pertama kali kemari, aku memutuskan untuk mengantarnya terlebih dahulu keruangan tempat abahnya dirawat setelah itu baru menuju ruangan tempat ayahku.

“Disini mas ruangannya. Saya antar sampai sini saja yah karena saya juga harus jenguk ayah saya. Semoga abahnya cepat sembuh.” Kataku pada lelaki itu

“Iya mba ngga apa-apa. Makasih banyak sudah mau antar saya kemari. Allahumma Aamiin. Begitupun ayahnya mba, semoga Allah segera angkat segala penyakitnya hingga bisa berkumpul dengan keluarga lagi.” Kata lelaki itu

“Aamiin. Permisi saya pergi dulu.”

“Iya mba.”

Aku langsung berlalu meninggalkan ruangan itu menuju tempat ayahku dirawat. Tetapi ketika baru sampai dilorong ruangan, aku melihat ibu sedang duduk sambil menangis. Aku segera berlari menghampirinya.

Ibu. Ada apa bu?” Kataku sambil berlutut dihadapan ibu dan memegang tangannya. Ibu hanya menatapku. Dan kemudian memelukku. Aku yang bingung melihat sikap ibu terus bertanya ada apa. Sampai akhirnya seorang suster keluar dari dalam ruangan dan berkata bahwa ayahku telah meninggal.

Aku tak mampu menahan perasaan sedih sebab terlambat datang untuk menjenguk ayah dan hal yang paling membuatku merasa bersalah karena ayah harus merasakan rasa sakit diakhir hidupnya sebab penolakan-penolakan yang aku terima akibat masa laluku  ditambah kejadian beberapa hari lalu. Aku tak mampu  menahan rasa sakit dalam hatiku. Aku berlari meninggalkan ibu sendiri. terus berlari tak tentu arah hingga malam menjelang. Kakiku lemas sebab sejak tadi terus berlari. Aku tidak kuat lagi menanggung semua beban hidup ini. kepada siapa aku harus bertanya tentang keadilan Allah. Mengapa Dia begitu kejam membuatku semenderita ini. andai aku bisa melihatnya dengan jelas maka akan aku maki Dia sebab sudah tidak adil terhadap hidupku. Katanya Dia tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya. tetapi mengapa Dia terus memberikan aku cobaan itu.

Tiba-tiba handphoneku berdering. Dari ibu. Ku geser tombol hijau dilayar itu.

“Nak, kamu dimana? Sudah malam begini. Ibu khawatir. Pulanglah Dewi. Demi ayahmu.” Kata ibu sambil menahan isak tangisnya.

Aku jatuh terduduk ketanah dan kembali menitikan air mata. Tak kuasa rasanya mendengar tangis dan kata-kata ibu tadi. Bergegas aku bangkit dan mencari kendaraan untuk pulang. Tapi aku tidak tahu sekarang sedang dimana. Sampai akhirnya ku temukan sebuah pangkalan ojek dipinggir jalan dan meminta salah seorang dari mereka untuk diantarkan pulang kerumah.

Hampir dua jam perjalananku hingga akhirnya bisa tiba dirumah. Disana terlihat begitu banyak orang berkumpul dan mengaji. Aku bergegas masuk kedalam rumah dan aku melihat tubuh ayah sudah terbujur kaku diatas dipan dengan ditutupi kain. Aku melihat ibu duduk disampingnya sambil menangis. Ibu yang melihatku hanya berdiri didepan pintu langsung menghampiriku dan memeluk tubuhku. Aku langsung tumbung. Sungguh tak kuat rasanya diri ini melihat begitu banyak cobaan yang harus aku alami sebab kejahilanku yang dulu.

Keesokan paginya aku terbangun sudah ada diatas tempat tidur dikamarku. Suara nyaring alat-alat dapur dan bau sedap makanan itu membuatku lapar. Sebab sejak kemarin aku belum makan. Tiba-tiba ibu masuk kedalam kamar sambil membawakan semangkuk bubur ayam dan air putih. Ibu duduk disamping ranjangku dan berkata bahwa dia meminta maaf sebab harus mengubur jenazah ayah semalam. Karena tidak tega harus membiarkannya terlalu lama. Aku hanya mengangkuk tanda mengerti bahwa semalam aku tak sadarkan diri setelah sampai dirumah.

***
Satu minggu setelah meningalnya ayah aku mulai kembali bekerja. Sudah terlalu lama aku beristirahat untuk menenangkan diri pasca kejadian hari itu dan hari-hari selanjutnya. Ditempat kerja banyak rekan kerjaku yang turut berbela sungkawa atas kejadian yang menimpaku. Aku hanya mampu membalas mereka dengan ucapan terima kasih atau hanya tersenyum saja. aku sudah lelah jika harus banyak bicara.

Hari ini aku lembur kerja hingga malam. Banyak pekerjaan yang menumpuk akibat ku tinggalkan lebih dari satu minggu. Aku harus segera menyelesaikannya meski atasanku tidak memberatkan ku untuk mengerjakannya secepatnya.  Dalam hati aku berkata ‘ini kewajibanku dan ini caraku untuk meghilangkan kesedihan’.

Aku pulang kerumah setelah menyelesaikan sembahyang isya di mushola kantor dan kemudian bergegas menuju parkiran motor untuk pulang. Setelah sampai rumah ibu langsung menyambutku dengan senyuman hangat penuh cintanya. Ibu memintaku untuk mandi agar bisa segera makan bersama.

Ketika sedang makan ibu bertanya masalah pekerjaanku yang sudah seminggu aku tinggalkan.

“Alhamdulillah si bos bisa maklum bu. Tapi yah kerjaannya lumayan banyak karena kan udah satu minggu ini ditinggal. Makanya lembur buat ngurangin sedikit demi sedikit.” Kataku pada ibu

“Oh iya ya.” Kata ibu kemudian diam.

“Ada apa bu?”

“Hmm… begini. Tadi ada yang dateng kerumah nyariin kamu dan sekalian dateng buat takziyah katanya. Tapi ibu ngga kenal karena baru ketemu dia sekali aja.”

“Loh… emang siapa bu? Apa temen kuliahku?”

“Ibu ngga tanya itu karena ibu kira juga temen mu kuliah. Namanya Ali”

“Ali?”
Aku kebingungan mendengarkan penjelasan ibu tentang seseorang yang bernama Ali itu. Teman kampusku yang bernama Ali pun tidak begitu dekat denganku. Aku hanya mengenalnya karena dia teman satu jurusanku. Aku semakin penasaran dengan sosok itu.

***

Hari ini genap satu tahun sudah ayah meninggalkan aku dan ibu. Hidup kami tak banyak berubah sejak kejadian itu. Aku mulai menata hati dan memasrahkan setiap takdir itu pada ketentu-Nya. ibu tak pernah memaksa aku untuk menikah meski aku tahu itu adalah impian terindahnya. Aku harus berpikir seribu kali untuk memulai dan kembali percaya. Aku tak ingin luka lama itu terulang.

Tin tin…
Bunyi suara klakson mobil yang tiba-tiba terdengar membuat aku terkejut. Aku tersadarkan dari lamunanku. Aku langsung menoleh kearah belakang dan melihat sebuah mobil hitam masuk ke halaman rumahku. Aku diam mematung memperhatikan kedalam mobil. Tapi kacanya yang hitam tak mampu ku tembus dengan pandanganku. Seketika itu pintu tengah mobil terbuka dan keluarlah seorang bapak tua memakai kopiah dan kacamata. Aku belum pernah melihat sosok beliau sebelumnya. Beliau tersenyum melihat kearahku dan kemudian menghampiriku.

“Assalamu’alaikum…” Kata bapak tua itu. Aku yang masih memegang selang air karena sedang menyiram tanaman kemudian manuruh selang itu ke tanah. Sambil menjawab salamnya. Tiba-tiba ibu datang menghampiriku dan bertanya bapak itu siapa. Lelaki tua itu menjawab bahwa namanya Pak Rais. Beliau berkata bahwa kedatangannya kerumahku untuk menemani anaknya. Aku yang masih kebingungan langsung bertanya pada Pak Rais.

“Maaf pak. Anak bapak siapa yah?” Kataku

“Namanya Ali. Tapi dia masih dijalan karena tadi masih ada urusan mendadak di pesantren”

“Ali? Maaf pak Ali yan bapak maksud siapa? Karena saya hanya punya satu teman bernama Ali ketika kuliah dulu dan kami tidak terlalu dekat.”

Pak Rais tiba-tiba terdiam. Tak berapa lama terdengar suara salam yang diucapkan seseorang dari balik pintu. Masuklah seorang pemuda yang tak asing wajahnya tapi aku sungguh tidak mengenalnya. Aku berusaha mengingat siapa pemuda itu. Dia masuk dan langsung duduk didekat Pak Rais. Pemuda itu langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Dia juga menjelaskan siapa dirinya.

“Mungkin mba lupa yah dengan wajah saya. Karena kita sudah lama tidak bertemu.” Kata pemuda itu

“Iya.” Kataku singkat

“Saya laki-laki yang pernah mba tolong waktu pergi ke rumah sakit daerah. Saya mau menjenguk abah saya. Waktu saya kemarin mba tidak ada. Saya hanya ketemu ibu. Dan kebetulan abah saya ingin sekali ketemu mba. Sudah satu minggu merajuk minta kemari. Hehe. Jadi saya datang untuk datang antarakan abah dan umi.” Kata Ali

Setelah dia bercerita, aku baru ingat pada lelaki yang dulu kutemui diangkutan umum.

Ali lanjut menjelaskan bahwa bapaknya sangat berterima kasih padaku sebab sudah bersedia menemani anaknya. Karena ternyata meski Ali lahir dikota ini tetapi dia besar diluar kota. Menimba ilmu diberbagai pesantren. Ali mendapatkan alamat rumahku ketika di rumah sakit. Dia bertanya pada ibu. Ibu yang mengira bahwa Ali adalah temanku langsung memberikannya.

“Selain itu saya juga mau menyampaikan satu hal yang amat penting kepada mba Dewi dan ibu.” Kata Ali yang kemudian menatap kedua orangtuanya. Aku hanya diam memperhatikan.

“Begini mba, saya sudah dengar semua ceritanya dari ibu.. Waktu itu saya diminta abah untuk memanggil mba dan bertemu beliau diruangannya. Waktu bapak masih dirumah sakit. Jadi saya menyusul mba Dewi. Tapi, waktu itu mba lagi nangis dan tiba-tiba pergi. jadi saya ketemu sama ibu dan tanya ada apa. Ibu cerita sama saya. Saya terenyuh denger cerita dari ibu. Tapi, ini ngga ada hubungannya sama sekali mba. Ini tulus dari hati saya dan atas ijin abah juga. Dan saya sudah pikirkan ini beberapa bulan belakangan.” Lanjut Ali

“Maksudnya?” Kataku

“Hmm… Mba Dewi mau menikah dengan saya.” Kata Ali. Aku yang mendengar kata-kata itu diam menahan sesak didalam dada ku. Tiba-tiba aku teringat semua kejadian yang telah menimpaku dan keluargaku. Sambil menahan air mata aku berkata pada Ali “Mas. Jangan pernah main-main sama kata-kata itu. Kalau mas udah dengar semua cerita dari ibu. Dasar apa yang ngebuat mas yakin. Saya udah terlalu banyak dikecewakan orang mas. Dan saya ngga mau lagi itu terulang.”

“InsyaAllah mba saya yakin. Dan saya ngga bercanda. Disini banyak saksinya mba.”

“Semua laki-laki itu juga sama mas. Bukan Cuma mas. Apa seteleh tahu masa lalu saya mas juga bakalan ninggalin saya sama kaya mereka dan buat hati orang yang sayangi kecewa?” Kataku sambil menunduk menitikan airmata sebab aku tak sanggup menahannya lagi.

Ibu merangkul dan menenangkanku. Semua yang ada diruangan itu terdiam. Aku bangkin sambil mengusap airmataku.

“Kalau mas masih ragu. Silahkan mas urungkan niat itu. Permisi.” Kataku sambil berdiri hendak meninggal ruang tamu. Tetapi tiba-tiba Ali ikut berdiri.

“Mba, setiap manusia itu punya masa lalu dalam hidupnya. Ada yang baik dan buruk. Saya ngga pernah diajarkan orangtua saya atau guru-guru saya bahwa ada manusia yang sempurna selain Rasulullah Muhammad. Yang hidupnya tanpa cacat akhlak. Kita ini Cuma manusia biasa mba. Saya ngga pernah menuntut kesempurnaan dari siapapun bahkan diri saya sendiri karena saya tahu itu ngga mungkin bisa. Saya bisa gila kalau Cuma mikirin kesempurnaan.

Kesalahan dimasa jahiliyah itu emang aib, tapi jangan singkap aib itu dengan selalu diungkit-ukit karena itu sama aja kita menghukum diri kita sendiri.

InsyaAllah mba. Saya ikhlas menerima semuanya. Baik masa lalu mba, masa sekarang mba ataupun masa depan mba nanti.”

Aku yang mendengar penjela san Ali semakin tak kuasa menahan tangisku. Aku pergi meninggalkan mereka dan masuk kedalam kamarku. Ibu menyusulku. Dia berkata bahwa apa yang katakana Ali itu benar, aku harus bangkit dari keterpurukan. Tetapi aku masih sulit menerima semua itu. Ibu hanya menyarankan agar aku berpikir jernih dan tidak menuruti setiap egoku. Ibu kembali hendak keluar sambil berkata “Jangan pernah kamu sia-siakan kesempatan yang sudah Allah beri, nak.” Aku langsung berlari memanggil ibu sambil memeluknya.

“Bu… Dewi Cuma capek kalau harus jatuh lagi. Dewi ngga kuat kalau harus terlaku lagi. Dewi ngga mau kehilangan orang yang Dewi sayangi lagi. Dewi…”

“Wi… kebahagian ibu adalah liat kamu bisa hidup bahagia. Kamu ngga harus melupakn masa lalu apapun, kamu hanya perlu iklas menerima semua yang udah terjadi. Itu yang akan buat hati kamu lapang.

Ali itu laki-laki yang baik. Ibu percaya dia ngga akan buat kamu sedih lagi. Ibu mau kamu bahagia Wi. Pergi keluar sana dan terima dia untuk jadi suamimu. Bismillah. Percayalah Allah ngga akan pernah salah atas setiap takdir bagi hamba-Nya.” kata-kata ibu membuatku kembali berpikir dan menjadi penguatku. Aku tahu ibu hanya ingin aku bahagia dan begitupun aku, hanya ingin ibu bahagia. Aku tidak mau membuang setiap kesempatan ini. benar kata ibu, bisa jadi inilah jalanku.


Aku bergegas menghapus air mataku. Sambil dituntun ibu aku keluar kamar dan berkata pada Ali didepan keluarnya bahwa aku menerima lamaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk ayah dan ibu tercinta (Renungan)

Aku Takut Jatuh Cinta Lagi

Hati Itu Milik-Nya