Kehilangan bagian 1

Beruntungnya aku mendapatkan dia. Lelaki sempurna yang menemani hari-hariku. Tak pernah aku menyangka bahwa takdir akan mempertemukanku dengan orang sepertinya. Ternyata cinta mampu tumbuh dalam hubungan yang biasa.

Rangga, itulah nama suamiku. Dia melamarku enam tahun silam ketika aku baru lulus wisuda di sebuah perguruan tinggi negeri. Tak pernah aku sangka dia akan melakukan hal itu. Pertemanan biasa yang kami jalini sedikitpun tak membuatku berpikir bahwa dialah pangeran impian itu.

Dia melamarku dihadapan keluarga besarku dan juga teman-temanku. Saat itu, selain terkejut aku juga merasa malu. Sebab dihadapan mereka dia melamarku. Membawa sebuket bunga dan balon warna warni berbentuk hati. Semua mata tertuju padaku saat itu. Aku tak mampu berkata apapun. Mungkin saat itu wajahku memerah sebab malu. Mungkin. Sebab aku tidak tahu. Hanya kabar-kabar burung dari teman-temanku saja yang aku terima.

Mengenang semua kejadian masa lalu nan indah itu membuatku selalu merasa jatuh cinta kembali pada suamiku. Dia adalah lelaki terbaik yang Tuhan kirimkan kedalam hidupku. Tak berapa lama setelah kejadian itu dia dan keluarganya datang kerumahku untuk secara resmi melamarku. Kami menikah. Kebahagian itu tak mampu kubendung lagi.

Oh ya, kami itu sejak kecil adalah teman satu permainan. Saat dikampung nenekku dulu, aku selalu bermain bersamanya. Tetapi begitu aku beranjak remaja, aku mulai meninggalkan kampung halaman ayah dan tinggal di kota. Sesekali kami masih sering berkunjung kesana tetapi hanya sekali dua.

Tiga bulan setelah pernikanan, aku hamil. Itu adalah masa-masa paling berat sekaligus romantis. Rangga tak pernah alfa untuk memanjakanku. Membantu setiap pekerjaan rumah ketika aku selalu mual diawal-awal kehamilan. Dia juga menjadi lebih perhatian dari biasanya. Mungkin ini adalah hal wajar tapi sewajar apapun tetap saja dia berubah dan membuatku semakin mencintainya.

“Ay, kamu dikamar?” Suara Rangga membangunkanku dari semua kenangan masa lalu itu. Aku meletakkan album foto yang sedangku pegang kedalam rak dan menghampiri Rangga yang sekarang berdiri di pintu kamar kami.

“Ada apa bi?” Kataku singkat.

“Ngga ada apa-apa. Tadi aku sampe rumah tapi sepi. Makanya aku cari kamu. aku kira kamu pergi.”

“Ohh… Hmm… Kok tumben kamu masih siang udah pulang?”

“Tadi aku ada meeting diluar. Dan ternyata ngga terlalu lama. Makanya aku langsung pulang aja. yaudah aku ganti baju dulu yah. Oh ya, Nabila belum pulang les?”

“Belum. Biasanya jam empat dia baru pulang. Nanti coba aku telpon tempat lesnya yah. Kamu mau aku buatin minuman?”

“Boleh. Jus aja.”

Aku hanya melempar senyum pada Rangga dan langsung menuju dapur untuk membuatkannya jus.

Meski aku kuliah tetapi sekalipun aku belum pernah merasakan kerja dikantor. Aku memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Mengurus keluarga kecilku, terutama malaikat kecil kami, Nabila.

***

“Assalamu’alaikum…”
Suara nyaring dari depan rumah itu terdengar sangat khas. Seorang gadis kecil yang manis berlari sambil menggendong tas ranselnya menuju kearahku. Rambutnya yang panjang terurai membuatnya semakin cantik dan anggun. Dialah puteri kecil kami. Malaikat tanpa sayap yang Tuhan titipkan.

Dia sempurna memelukku dengan sangat erat.
“Bunda… aku seneng deh hari ini.” Kata Nabila sambil melepaskan pelukkannya

“Kenapa?” Kataku dengan ekspresi wajah yang penasaran

“Pertama, waktu disekolah aku dapat bintang. Karena udah berani maju kedepan kelas. Terus yang kedua, aku seneng karena Papa jemput aku.” Katanya dengan sangat antusias

“Ohh gitu… Tadi yang pertama dan kedua udah. Sekarang bunda mau buat kamu tambah seneng lagi. Bunda juga ngga mau kalah sama Papa karena udah buat kamu seneng.”

“Iya…..” Katanya dengan ekspresi yang antusia. “Aku mau…. Aku mau… Apa bunda… cepet kasih tahu aku.”

“Bunda buatin pudding cokelat kesukaan kamu.”

“Wah… Aku mau bun. Sekarang yah… boleh yah…”

“Hmm… Tapi kamu kan bau asem. Kasih ngga yah?”

“Yah bunda…”

“Iya sayang… kamu boleh makan sepuasnya. Karena itu spesial buat kamu.” Kataku sambil tersenyum dan mengusap kepalanya.

“Makasih bunda… aku sayang bunda.”
Nabila kembali memelukku dan mencium pipi kiri dan kanan ku.

“Kok Cuma bunda yang di sayang. Papa ngga nih?” Kata Rangga yang sejak tadi berdiri dibelakang Nabila memperhatikan puteri kecil kami itu bercerita.

“Aku juga sayang sama Papa.” Nabila berlari menuju Rangga dan melakukan hal yang sama seperti kepadaku.

Aku selalu merasa bahagia. Rasanya dalam hari-hari hidupku tak pernah ada kesedihan sebab mereka berdua selalu ada didekatku. Memberikan warna yang indah dalam kehidupanku.

***

Awan mendung datang menyapa hidupku. Membuat hari-hariku terasa amat sulit. Tak ada tempat lagi untuk aku bernaung dan melepaskan segala beban diatas pundakku. Rangga telah pergi jauh meninggalkan hidupku. Tuhan telah memintanya untuk kembali tepat satu minggu sebelum hari pernikahan kami yang ketujuh tahun.

Rangga meninggal dalam sebuah kecelakan maut. Mobil yang dikendarainya terjun bebas kedalam jurang setelah dia menghindari sebuah bus disebauh tikungan tajam. Rangga meninggal ditempat kejadian dengan begitu banyak luka ditubuhnya. Aku tak mampu melihat keadaanya yang seperti itu. Hingga hari ini aku masih belum bisa menerima kepergiannya yang begitu cepat.

Semua rencana indah masa depan itu hilang bagai ditelan bumi. Semuanya pupus karena kepergian Rangga. Aku tak mampu lagi berdiri sekuat dulu. Senyumku tak mampu lagi berkembang seindah ketika Rangga ada disisiku.

Lalu bagaimana dengan Nabila?
Aku tak mampu sedikitpun menatapnya. Hatiku terasa seperti tersayat ketika harus melihatnya. Sebab Nabila selalu mengingatkan aku akan Rangga. Kehadirannya membuat luka itu semakin melebar. Bahkan malaikat kecil yang aku cinta, kini berubah menjadi monster mengerikan bagi hidupku.

Mama dan Papa ku membawa Nabila pergi dari rumah sebab mereka selalu khawatir akan terjadi hal buruk pada Nabila. Karena aku pernah tanpa sengaja menjambak rambutnya dan mendorongnya hingga jatuh kelantai sebab aku terbayang Rangga yang hidup dalam tatapan matanya. Nabila yang manja, selalu membuatku ingat akan masa-masa indah bersama Rangga.

***
Aku semakin terpuruk. Aku hanya mampu meratapi wajah keluarga kecilku yang dulu amat bahagia didalam figura kecil yang terletak diatas meja kamarku. Semua orang pergi meinggalkan aku, atau tepatnya aku yang menarik diri dari kehidupan luar. Aku hanya mengurung didalam kamarku. Makan hanya saat perutku benar-benar lapar. Kadang selama dua hari aku hanya minum air putih. Asisten rumah tangga yang dikirim mama kerumah hanya ditugaskan untuk membersihkan rumah dan memasak makanan untukku. Setelah itu dia akan pulang. Aku sendirian. Meski sering kali mama datang untuk mengajakku bicara dan memintaku untuk ikhlas melepas Rangga.

Adinda, sampai kapan kamu mau kaya gini nak? Rangga ngga mungkin kembali walaupun kamu terus berharap. Nabila butuh kamu. sekarang Cuma kamu yang dia punya.

Itu kata-kata yang selalu mama ucapkan ketika datang mengunjungiku.

Dulu kamu pernah bilang sama mama kalau kamu seneng… banget punya Nabila. Kamu bilang Nabila itu kekuatan kamu. Tolong kamu buktiin kata-kata itu sekarang. Nabila dirumah butuh kamu. mamanya.

Atau yang lainnya.

Dan setiap kali mama bicara hal itu air mataku kembali melelah bagaikan coklat yang dipanaskan. Aku tahu sikapku pada puteriku telah salah. Aku sudah menelantarkannya. Tapi aku masih sulit untuk bangkit.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk ayah dan ibu tercinta (Renungan)

Aku Takut Jatuh Cinta Lagi

Hati Itu Milik-Nya