Maaf Aku Berbohong
Layaknya remaja yang baru mengenal dunia
luar, dia pun sangat antusias ingin tahu segalanya. Semenjak kuliah hobinya
duduk santai di kantin kampus bersama teman-teman dari berbagai jurusan. Hanya
duduk, makan, ngobrol, atau sekedar mendengarkan musik kesukaan. Pulang malam seakan
menjadi agenda rutinnya. Padahal dia ada disana bukan untuk bersenang-senang
melainkan menuntut ilmu, titah dari orangtua.
Dia bagai burung yang baru lepas dari
sarangnya, begitu ingin bebas dan mencoba apapun. Tetapi takdir memang tak
pernah salah, Tuhan tak pernah diam melihat hamba-Nya tersesat. Dia pun
dipilihkan-Nya jalan lain. Diperkenalkan-Nya dengan orang-orang yang mampu
menuntunnya dengan benar. Alhasil, lihatlah dia saaat ini. Berubah.
Tak lagi mau menggunakan pakaian terbuka.
Dia tau dirinya belum sempurna berubah, masih banyak yang harus dia perbaiki.
Tapi dari sudut pandang lain setidaknya dia berhasil melewati batas yang dulu
tak berani ia tapaki, batas yang seakan hanya fatamorgana, yaitu perubahan.
Dia duduk dibangku kayu pinggir danau itu
sendirian. Hanya ditemani sayup angin dan kicau burung taman. Ah, sudah berapa hari ku lihat dia hanya
duduk termenung dengan buku kecilnya disana. Kata orang, dia sedang bimbang.
Aku mencoba memperhatikan. Memastikan bahwa dia baik-baik saja. setiap hari
mendekati senja ku ayunkan langkah kaki ke tempat ini. Duduk di kejauhan
memperhatikan apa yang akan dia lakukan. Hingga menit berganti jam aku lihat
dia hanya duduk berdiam disana. Sesekali melihat handpone didalam tas lalu memasukkannya
lagi.
Seminggu berlalu, banyak orang yang mulai
membicarakannya. Banyak yang berasumsi begini-begitu. Berita itu pun datang ke
telingaku. Katanya dia sedang dirundung duka mendalam. Entah luka apa, yang
jelas luka itu membuat hatinya sangat rapuh. Tak mau makan. Hanya minum air
putih kala dirumah, lalu pergi dan kembali lagi saat adzan maghrib
berkumandang.
***
Dulu sekali, saat semuanya aku rasa
baik-baik saja. Tak pernah aku mau menghiraukan semua keadaan yang terjadi.
Saat perasaan itu masih dalam bentuk benih yang tak berarti. Aku tak yakin
sejak kapan perasaan ini mulai berkecambah tapi satu hal yang aku tau, bahwa
semua di mulai ketika kebohongan demi kebohongan aku lakukkan.
Hari itu aku hanya ingin bertanya, entah
kenapa aku sangat sekali ingin tahu. Sampai tiba pada sebuah pertanyaan
darinya, apakah aku memiliki rasa itu. Dia yang tiba-tiba menanyakan hal itu
membuatku kaku tak mampu berkata apapun. Aku hanya diam dan berusaha tenang,
dan aku hanya berkata, itu dulu.
Aku takut sekali dia tahu yang sebenarnya,
meski aku tak yakin sebenarnya apa yang aku rasakan. Aku terus bertanya pada
hati, apa aku cemburu? Kenapa aku harus
cemburu? Aku tak memiliki rasa apapun, yah tidak ada rasa itu. Batinku
bergejolak. Semakin aku yakinkan diriku bahwa ini semua baik-baik saja, semakin
hatiku membantahnya. Bayangnya selalu hadir. Didekatnya pun membuatku samakin
tak nyaman. Aku merasa sangat bersalah. Kebohongan itu membuatku tak mampu
berbuat apa-apa.
***
Kini kami duduk bersampingan menatap ke
depan, aku menatap jingganya awan di ujung pandangan sana dan dia menatap lurus
ke depan dengan tatapan kosong. Entah apa yang dipikirkan setelah menceritakan
semua keluh kesahnya padaku.
Urusannya memang tak terlalu rumit, hanya
tentang perasaan. Tetapi aku tahu itu amat berat, sebab dia yang menahan
perasaannya bertahun lamanya harus rela tercabik hatinya hanya karena sebuah
kebohongan yang ia buat sendiri demi menghindari sebuah perasaan tulus itu.
Aku tahu semua yang berhubung perasaan itu
selalu sulit. Apapun alasannya, tak seharusnya dia menyimpan perasaan itu
sendiri dan membiarkan hatinya terluka. Apapun alasannya, meski harus jujur
berkata dia cemburu, dia tak mesti berbohong.
Ah, andai urusan seperti ini mudah bagi dia
yang sangat pendiam dan takut akan sebuah perasaan yang mereka sebut, cinta.
semuanya tak akan serumit ini. Andai dia orang yang tak mudah terbawa
perasaannya. Andai dia bukan orang yang setia. Mungkin urusannya akan lebih
mudah baginya.
***
Aku tak pernah sekalipun mencintainya
karena harta yang dia miliki saat ini. Karena sejak awal aku hanya melihat dia
sebagai seorang laki-laki biasa yang secara fisik bisa dikatakan baik. Hanya
saja karena dia seperti giant aku
selalu merasa aneh memiliki perasaan padanya.
Awalnya, semua biasa saja. aku hanya
sebatas melihatnya secara fisik. Sekali. Dua kali. Entah apa alasannya dia
mulai menjadi penghuni hatiku. Meski kehadirannya masih abu-abu.
Cerita-cerita yang sering tak sengaja aku
dengar, tak pernah berpengaruh apapun. Tentang hartanya yang banyak. Tentang
dia laki-laki yang sangat baik dan keras keinginannya. Aku tak pernah melihat
apapun. Hanya ada dia. Tapi semua perasaan itu aku tepis. Aku tak mungkin
memiliki perasaan itu padanya. Dia adalah laki-laki yang dikagumi temanku. Aku
hanya ingin menjaga perasaanya. Tak ingin membuatnya luka, sebab aku tahu dia
meski aku baru mengenalnya.
Dan entah apa alasan yang lebih logis
selain cemburu. Hari itu aku tak
mampu menerima kenyataan bahwa sahabatku pun memiliki perasaan itu. Aku yang
selama ini bersembunyi dan menyatakan semuanya baik-baik saja mulai berontak.
Aku tidak aku mengapa tiba-tiba semua ini terjadi, hanya cemburu-lah alasan paling logis yang tiba-tiba aku dapatkan setelah
aku berbohong tentang perasaanku.
Semuanya semakin berat. Aku tak mampu
menutupi perasaan ini selamanya. Selain harus menjaga lebih rapat perasaanku,
aku juga harus menjaga perasaan sahabat ku. Aku tak mungkin menyakiti banyak
orang hanya karena cinta yang belum jelas ini. Aku tak ingin menyakiti
siapapun dengan perasaan yang aku miliki. Tak mau lagi disakiti. Tak mau lagi
menyakiti. Cukup masa lalu yang seperti itu.
***
Air mata itu mengalir deras di pipinya.
Aku tahu urusan ini tak akan pernah bisa mudah baginya. Dia sudah berjuang
sangat keras menahan perasaannya, dan akhirnya dia harus benar-benar membunuh
perasaannya agar tak ada yang tersakiti. Aku tahu beban ini amat berat bagi dia
yang sangat rapuh.
Obrolan sore itu ditutup dengan hujan yang tiba-tiba turun sangat deras. Seakan
membisikan bahwa langit pun merasakan lukanya.
Komentar
Posting Komentar