Darah Juang Sang Mujahidah
Ditengah teriknya matahari siang itu. Ratusan orang
berkumpul didepan gedung istana merdeka. Berpakaian rapi dengan berbagai jenis
almamater. Menyerukan sebuah keadilan untuk rakyat kecil yang ada di tanah air
tercinta.
Dari begitu banyak sosok wanita disana, ada seorang
wanita yang menarik perhatianku sejak awal turun aksi. Dengan gamis panjang dan
lebar yang digunakannya terlihat dengan jelas bahwa dia adalah seorang akhwat.
Sejak awal turun aksi dia sibuk membagi-bagikan air
mineral dan roti dibantu beberapa orang. Sambil tersenyum dengan tulus dia
berkata "Selamat menikmati. Semoga
Allah menguatkan kita hingga akhir." Sontak orang-orang yang mendengar
kata-kata itu langsung mengucapkan 'aamiin'. Tapi tak jarang juga ada yang
malah merasa aneh dengan tindakkanya itu.
Saat adzan ashar berkumandang, wanita itu langsung
bergegas bergerak dari satu barisan ke barisan lain. Dia bahkan maju kedepan dekat
mobil sound untuk memberitahu peserta aksi bahwa adzan sudah berkumandang. Tapi
hanya sebagian yang bergerak. Sisanya masih menunggu dibarisan dengan rapi
sambil terus menyuarakan tuntutan.
Diwajahnya menggambarkan kelelahan yang amat sangat,
tapi ajaibnya dia masih bisa tersenyum dengan tulus. Bahkan sesekali bercanda.
Aku semakin penasaran dengannya.
***
Sore itu tanpa sengaja aku bertemu dengan wanita itu
disebuah toko kue. Aku hampiri dia sambil berbasa basi bahwa aku pernah bertemu
dengannya disuatu tempat aksi. Sampai akhirnya kami berkenalan. Namanya Aisyah.
Setelah beberapa lama kami berbincang, Aisyah berpamitan
untuk pulang lebih dahulu.
"Saya duluan yah.
Semoga lain kali kita bisa ketemu lagi." Katanya sambil melepas senyum indah itu. Dengan jilbab
berwarna merah maroon, dia berlalu meninggalkan aku sendiri. Sedangkan aku
masih terpesona dengan keanggunananya.
"Mau bayar
mba?" Tanya
seorang kasir kepadaku. Membuatku tersadar dari lamunanku.
"Oh, iya mba.
Maaf." Kataku sambil
meletakkan keranjang berisi kue itu diatas meja kasir.
Aku segera pulang ke rumah. Mengendari sebuah sepede
motor metic. Ditengah jalan aku melihat Aisyah sedang duduk ditrotoar jalan
bersama seorang bapak tua. Aku langsung menghampiri mereka.
"Aisyah." Kataku
"Nanda." Lagi-lagi senyuman itu terukir indah
diwajahnya. Sungguh menenangkan.
"Kamu lagi apa?" Kataku lagi.
"Aku lagi bantu Pak
Ahmad. Oh iya Pak, ini temen aku namanya Nanda."
Pak Ahmad tersenyum padaku, dan aku pun membalas
senyumnya.
"Pak Ahmad ini
penjaga Masjid deket sini. Tiap sore gini aku selalu bantuin beliau jualan kue,
buat tambahan uang pembangunan masjid. Karena masjidnya lagi direnovasi." Jelas Aisyah
Aku semakin kagum padanya. Setiap detik hidupnya
seakan selalu dimanfaatkannya untuk kebaikan. Sedangkan aku, masih sering
lalai.
Sore itu, aku memutuskan menemani Pak Ahmad dan Aisyah
berjualan.
***
"Aisy, kamu kok
baik banget sih?" Tiba-tiba kata itu terlontar dari bibirku.
"Haha... Maksud
kamu tuh apaan sih Nan? Aku biasa aja kok. Sama kaya yang lain." Katanya sambil tertawa mendengar
ucapakanku tadi.
"Beda banget."
"Bedanya
dimana?" Tanya
dengan wajah yang sedikit bingung sambil menghadapkannya kepadaku
"Dari awal aku
kenal kamu, kamu beda dari yang lain. Tiap detik kamu selalu ngelakuin
kebaikan. Kamu rela ngebantu orang lain. Ikhlas. Contohnya kemarin waktu sama
Pak Ahmad. Tempat tinggal kamu kan bukan disana, tapi kamu rela ngeluarin
tenang, uang, dan waktu kamu cuma buat bantu Pak Ahmad ngumpulin uang buat
pembangunan masjid.
Belum lagi... kamu
rajin banget turun aksi. Padahal banyak mahasiswa jaman sekarang males turun ke
jalan. Apalagi Aku perempuannya. Semua lebih sayang kulitnya yang halus dan
terawat itu rusak gara-gara kena terik matahari waktu aksi. Mereka lebih suka
ngabisin waktu buat hobi-hobi yang nyenengin mereka. Ngga kaya kamu. Rata-rata
mereka berpikir aksi itu bukan jiwa mereka. Padahal ditangan pemudakan negara
ini berubah.
Kamu rela panas-panasan
sampe warna kulit kamu berubah. Tetap rajin sholat tepat waktu meski lagi aksi,
bahkan kamu ngingetin semuanya buat sholat. Walau selalu ada yang mencibir,
kamu tetep bisa senyum ke mereka.
Hmm.... kamu tuh bikin
aku iri, Aisy.
Padahal ngga sedikit
juga aktivis dakwah yang ngga mau turun aksi karena beranggapan percuma
teriak-teriak karena ngga ada efeknya. Tapi kamu...."
"Nan.... kamu tahu
seberapa besar perjuang Rasulullah buat negakin agama ini waktu awal beliau
diangkat jadi Rasul? Lebih berat dari yang aku lakuin. Semua yang aku lakuin
itu biasa. Beda sama perjuangan beliau dan sahabat rasul lainnya. Mereka bahkan
habis-habisan menginfakkan hartanya buat dakwah. Sampai sahabat Abu Bakar cuma
menyisakan Allah dan Rasul-Nya buat bekal hidup keluarganya.
Perjuangan sahabat Utsman
lebih lagi. Dengan hartanya yang banyak dia tetap dermawan dan selalu jadi
penyumbang terbesar dakwah rasul. Bahkan hingga hari ini peninggalan sedekah
dakwahnya masih ada tersisa.
Aku cuma ambil bagian
kecil aja dalam dakwah. Walau aku ngga bisa ngasih banyak, tapi seenggaknya
nanti diakhirat aku punya alasan dihadapan Allah, kalau aku juga berjuang buat
agama-Nya.
Walaupun aku cuma bisa
teriak-teriak waktu aksi, walaupun aku cuma bisa kasih sedikit waktu aku buat
bantu Pak Ahmad. Aku berharap itu jadi alasan kuat buat Allah milih aku jadi
salah satu hamba pilihan-Nya. Yang kelak layak Dia ridhoi masuk ke syurga-Nya.
Nan... aku ngga pernah
tahu sampai kapan batas waktu hidup ini berakhir. Aku cuma mau buat yang
terbaik. Karna aku cinta Allah. Aku cinta Rasulullah. Dan Aku cinta Islam. Walaupun
perjuangan ini Cuma perjuangan kecil" Kata Aisyah
Air mataku mengalir begitu deras, begitupun dengan Aisyah.
Mendengarkan penjelasannya membuat hatiku remuk. Aku bertanya dalam hatiku,
dimana posisiku dalam dakwah agama ini. Hujjah apa yang kelak aku berikan
dihadapan Allah. Aku kemudian memeluk Aisyah. Dalam keharuan itu kami terus
meneteskan air mata. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Tapi kata-kata
terakhir itu sungguh menguatkan aku.
"Nan, meski kita
baru kenal. Tapi sungguh ini rencana Allah. Dan aku mencintaimu karena Allah
yang telah mempertemukan kita. Tolong ingetin aku yah kalau aku salah." Kata Aisyah sambil tersenyum meski
dikelopak matanya masih bertengger sisa-sisa air mata itu. Aku memeluknya lagi.
***
Enam bulan berlalu, tepat pagi hari setelah sholat
subuh. Aisyah bergegas pergi meninggalkan rumah untuk mengikuti aksi penuntutan
keadilan dari kekejaman yang terjadi di berbagai negara terhadap para muslim.
Tetapi ketika diperjalanan dia mengalami kecelakaan yang menyebabkan dia koma
sampai hari ini. Selain itu, kakinya yang remuk tergilas truk harus diamputasi.
Mama dan Papa nya setiap hari bergantian menemaninya
di rumah sakit. Meski tidak ada kabar pasti dari dokter kapan dia bisa sadar.
Aku juga selalu mengunjungi Aisyah setiap akhir pekan. Dokter berkata hanya
keajaiban yang dapat menolongnya.
Andai Aisyah sudah terbangun. Dia pasti akan berdiri
paling depan membela agamanya ketika dihinakan oleh seseorang kafir. Dia pasti
akan membela dengan sepenuh jiwa raganya, lebih lagi dari biasanya. Aku kembali
meneskan air mata ketika mengingat kali pertama aku bertemu dengannya disebuah
aksi. Aisyah yang selalu sepenuh hati menyuarakan keadilan. Dialah sang
mujahidah yang sebenarnya. Yang rela mengorbankan apapun yang dimiliki. Gelora
jihadnya yang selalu bertanya "Dimana
posisiku dalam dakwah ini". Aku iri dengannya. Begitu besar cintanya
pada agama ini. Aku menciumi kedua pipinya, sambil berbisik ditelingannya
Aisy… besok aku bakalan
dateng ke aksi pembelaan Al-Qur’an yang sering aku ceritain sama kamu. Aku juga
mau ambil bagian dalam dakwah ini. Kamu udah ngajarin aku banyak hal. Makasih,
Aisy… semoga Allah ridho dengan niat ini.
Aku kemudian berpamitan pulang pada kedua orangtuanya.
==============
Jakarta, 1 Desember 2016
Dedikasi tertinggiku untuk para pejuang
dakwah agama ini. semoga Allah selalu melindungimu, melindungi kita. semoga ini
menjadi saksi bahwa kau merupakan mujahid-mujahidah yang rela, karena Allah.
Komentar
Posting Komentar